Tuesday, September 6, 2016

Pendam

Ada saat dimana seseorang bisa terlalu muak akan sesuatu.
Setelah ia bersabar untuk waktu yang lama, tapi kesabaran itu seakan hilang karena suatu (atau beberapa) hal yang ga bisa ditolerir lagi.
Saat kamuakan itu berada di titik tertinggi, ada orang yang akan langsung melampiaskannya, tapi ada juga yang memilih untuk diam lalu menyimpannya sendiri.

Ini bahaya.
Kalau seseorang memilih untuk menyimpannya sendiri daripada melampiaskannya.
Karena kita tidak akan pernah tau isi hati ataupun pikiran seseorang.
Terlebih kalau ia memilih untuk selalu menyimpannya sendiri.
Tidak bisa berkata apa-apa ataupun bercerita kepada siapa pun.

Mungkin memang lebih baik untuk diam.
Saat semua hal terlalu bising, sorak-sorak keramaian terlalu memenuhi telinga.
Pikiran-pikiran yang banyak tak tersampaikan, perasaan-perasaan yang hanya bisa dipendam lalu dikubur.
Apa mungkin itu yang terbaik?

Ya.
Untuk sebagian orang dan beberapa macam situasi.


Apa yang paling menyedihkan?
Adalah dimana ga ada lagi orang yang bisa dipercayai sepenuhnya.
Berpikir kalau bertukar pikiran akan terlalu sia-sia.
Sesuatu yang tidak dapat diutarakan, mungkin karena orang lain ga bisa mengerti apa yang dirasakan.
Hal yang sulit untuk dibicarakan, seakan menjadi tabu.

Untuk itulah mungkin lebih baik untuk menjadi diam.
Sendiri memendamnya menjadi jalan yang terbaik.

Thursday, September 17, 2015

Untung Ferry Setia

Adalah nama dari seseorang. Tapi tidak buat gue. Faktanya emang itu adalah nama dari seseorang, dengan 2 sosok yang berbeda. Secara nyata, yang terlihat jelas oleh mata hanya seorang laki-laki saja. Yang gue lihat, lebih dari sekedar seorang laki-laki.

Untung Ferry dan Ferry Setia.
Gue melihat mereka berdua dalam seorang laki-laki itu. Secara fisik, tingginya, wajahnya, badannya, mereka sangat mirip. Gimana ga mirip? Padahal kan mereka adalah satu orang. Mereka adalah orang yang sama. Tapi, mereka tidak semirip itu. Raut mukanya, Ekspresinya, sikapnya, sampai cahaya mata mereka benar-benar jauh berbeda. Mungkin cuma gue seorang yang bisa merasakan semua hal itu sedalam ini.

Ferry Setia, sosok pertama yang gue kenal. Terjadi karena sebuah insiden ketidaksengajaan. Berawal dari sebuah kebohongan di sebuah grup oleh sekelompok orang. Sampai akhirnya kebohongan itu diputuskan untuk ga dilanjutkan. Gue pun memutuskan untuk ga baper (red: bawa perasaan) atas kebohongan yang telah terjadi. Hubungan gue dengan orang-orang tsb pun cukup berjalan baik.

Karena perkenalan di grup tsb gue bisa kenal Copozz, panggilan Ferry Setia. Gue dan Copozzz mungkin lebih banyak menghabiskan waktu bersama, bertatap muka secara langsung dibandingkan

Wednesday, September 9, 2015

Kisah Horror di Kereta Rel Listrik by Jokaw

Kali ini gue mau bercerita tentang kisah nyata yang cukup horror yang pernah gue alami ketika gue berangkat ke kampus dan pulang ke rumah menggunakan jasa transportasi umum Kereta Rel Listrik (KRL) atau sekarang lebih dikenal dengan sebutan Commuter Line.

Mari dimulai ceritanya. Rumah gue ada di daerah Matraman tapi lebih tepatnya rumah orang tua gue, karena gue masih numpang sama orang tua. Gue berangkat ke kampus menggunakan transportasi umum yaitu kereta, gue naik kereta dari Stasiun Manggarai, dari rumah orang tua gue ke Stasiun Manggarai lumayan jauh dan lumayan dekat *simpulkan sendiri* jadi gue naik motor dari rumah orang tua gue ke Stasiun Manggarai terus naik kereta ke kampus. 

Motor gue merupakan motor turunan dari bokap yaitu Honda Supra X tahun 2002,

Friday, August 28, 2015

Unintentional Love

Jangan tanya kenapa gue nulis tentang hal ini. Tapi baca dan coba pahami. Karena gue cuma mau memanfaatkan waktu yang gue miliki semaksimal mungkin sebelum akhirnya waktu itu pergi dan tidak akan kembali lagi. Faktanya emang kaya gitu, waktu selalu berjalan (maju) tanpa bisa kita hentikan. 

Tadi malam, saat gue ga ada tujuan lagi mau kemana, akhirnya pun (selalu) ke GD (GubukDerita). Mungkin gue adalah orang yang paling ga punya kerjaan, terlalu banyak waktu kosong untuk dibuang, sampai bingung mau buang kemana lagi. Di sana ada beberapa anak-anak GD generasi penerus. Gue menyebut mereka seperti itu, karena GD yang sebenarnya saat ini telah terpecah belah. Orang-orang yang dulu sering sekali mengagungkan nama GD, menganggap kami (GD generasi awal) adalah keluarga yang tidak terpisahkan, mereka saat ini entah kemana. Tapi ada beberapa di antara kami yang masih saling berhubungan dan melakukan kegiatan bareng, entah itu nongkrong ataupun hal negatif lainnya.

Oke, kembali ke cerita tadi malam.
Di GD, gue ketemu Ninis, sepupunya Ryo, sang pemilik GD. Mulailah perbincangan kecil kami. Yang awalnya cuma sekedar basa-basi belaka sampai menyentuh bagian terdalam tubuh yang tidak terlihat. Ya, hati. Dengan gaya bicara gue yang tanpa jeda, cerewet banget, entah kenapa tiba-tiba gue

Tuesday, August 25, 2015

Sebuah Permainan: Antara Hati dan Logika

Saat ini gue berada dalam kondisi yang lumayan membingungkan. Kondisi yang buat gue cukup galau. Dan berulang kali juga, hal yang sama terjadi. Hasil dari kegalauan gue itu menjadi cukup memilukan bagi diri gue, yang mana gue uda cukup berpengalaman dalam mengatasi kondisi ini. Ironisnya, berulang kali juga gue mengulangi kesalahan yang sama.

Selalu saja gue mengalami konflik dalam diri sendiri, gue manamakan hal itu sebagai Perang. Kenapa? Karena diri gue tiba-tiba menjadi 2 sisi yang berlainan. Dan selalu saja gue menjadi lemah hanya karena seorang pria. Karena dia telah berhasil memicu perang yang terjadi dalam diri gue. Dengan sikapnya yang membingungkan itu, membuat gue kadang terlalu insecure sehingga banyak beranalisa. Gue menjadi banyak menganalisa tiap sikap yang ia tunjukkan ke gue. Jadi meminculkan pikiran-pikiran tolol yang bahkan belum tentu terjadi.

Mungkin gue terlalu jujur pada orang lain tentang apa yang gue rasakan, tentang bagaimana hati gue berjalan yang seperti itu. Mungkin gue terlalu terbuka, sehingga banyak yang mengira bahwa gue jahat terhadap cinta. Gue sinis. Padahal yang sebenarnya tidak seperti itu. Gue hanya wanita biasa