Tuesday, August 25, 2015

Sebuah Permainan: Antara Hati dan Logika

Saat ini gue berada dalam kondisi yang lumayan membingungkan. Kondisi yang buat gue cukup galau. Dan berulang kali juga, hal yang sama terjadi. Hasil dari kegalauan gue itu menjadi cukup memilukan bagi diri gue, yang mana gue uda cukup berpengalaman dalam mengatasi kondisi ini. Ironisnya, berulang kali juga gue mengulangi kesalahan yang sama.

Selalu saja gue mengalami konflik dalam diri sendiri, gue manamakan hal itu sebagai Perang. Kenapa? Karena diri gue tiba-tiba menjadi 2 sisi yang berlainan. Dan selalu saja gue menjadi lemah hanya karena seorang pria. Karena dia telah berhasil memicu perang yang terjadi dalam diri gue. Dengan sikapnya yang membingungkan itu, membuat gue kadang terlalu insecure sehingga banyak beranalisa. Gue menjadi banyak menganalisa tiap sikap yang ia tunjukkan ke gue. Jadi meminculkan pikiran-pikiran tolol yang bahkan belum tentu terjadi.

Mungkin gue terlalu jujur pada orang lain tentang apa yang gue rasakan, tentang bagaimana hati gue berjalan yang seperti itu. Mungkin gue terlalu terbuka, sehingga banyak yang mengira bahwa gue jahat terhadap cinta. Gue sinis. Padahal yang sebenarnya tidak seperti itu. Gue hanya wanita biasa
yang diberikan kelebihan untuk terkadang merasa insecure akan perihal hati dan kasih sayang. Karena ke-insecure-an gue itulah yang tanpa sengaja membuat gue menjadi orang yang terlalu terbuka.

Saat gue mulai merasa baper (red: bawa perasaan) terhadap seseorang, disitulah gue mulai merasa kalah. Kalah saat dimana permainan berlangsung, permainan yang gue buat sendiri. Tiap ada orang
yang 'gue rasa' mulai mendekati gue, otomatis permainan itu dimulai. Begitulah cara kerja permainan hati gue. Sampai gue tersadar kalau permainan itu berjalan tanpa ada peraturan resmi dari si pembuat permainan itu sendiri, GUE.

Mulailah gue menerapkan beberapa peraturan dalam permainan itu. Sama seperti game kebanyakan, peraturan dibuat agar pemain dapat menikmati permainan dan memenangkannya dengan sejujur dan seadil-adilnya. Gila! Itulah yang ada dalam pikiran gue sekarang. Gue cukup gila sampai membuat beberapa peraturan itu. Istilahnya, gue adalah game master dalam permainan yang gue ciptakan. Tapi kenapa gue harus membuat peraturan yang juga harus gue patuhi? Alasannya simple, supaya gue ga melewati batas dari kemampuan yang gue punya untuk memenangkan permainan dengan cara yang licik, curang, kotor, apapun sebutannya. 

Sejak permainan itu dimulai, gue punya prinsip yang menjadi pondasi gue dalam menikmatinya,

"Apa asiknya permainan bila mudah diselesaikan?"

Jawabannya: GAK ADA!
Terlalu mudah sebuah permainan, terlalu membosankan. 
Tapi, terlalu menikmati permainan sampai membuat gue terhanyut. Perlahan-lahan, tembok-tembok yang telah gue buat runtuh. Di saat gue mulai menyadari itu, gue langsung mencoba untuk ga panik. Gue cari akar masalah kenapa tembok itu bisa perlahan runtuh dan mencari solusinya. Dan selesai begitu saja.

Semua permainan yang gue lalui terlalu menyenangkan. Terlena dan membuat gue lupa daratan. Sampai membuat gue melupakan diri gue yang sebenarnya. Mungkin karena sifat gue yang tidak mau mengalah dan menganggap mereka sebagai lawan yang membuat gue selalu berpikir untuk selalu mengalahkan mereka. Rasa kepuasan batin yang tercipta setelah memenangkan permainan itulah yang buat gue hanyut dalam kelicikan dan terus menantang diri gue untuk mencari dan memulai permainan yang baru, lagi dan lagi.

Di saat gue mulai tersadar dari terlenanya permainan, seseorang menampar gue. Cukup keras sampai buat gue tersadar dan terbangun. Ia bilang,

"Hidup ini bukan tentang kompetisi, Ca. Tapi kolaborasi! Seseorang yang lagi main sama lo ga harus selalu lo jadikan lawan, coba jadiin dia sebagai partner".

WHAT THE HELL!
Hanya satu kata itu yang muncul dari dalam pikiran gue setelah gue selesai mencerna kalimat yang dia buang dari mulut kotornya. Lalu gue tersadar. Benar juga apa yang dibilang teman gue itu.

Karena gue yang terlalu pemikir, mulailah gue menganalisa, mengevaluasi dari tiap permainan yang pernah gue lalui. Akhirnya, gue menyadari bahwa gue ga bisa terus kaya gini. Gue ga bisa terus-terusan menikmati permainan busuk ini. Toh, lebih banyak dampak buruk daripada benefitnya. Gue juga ga mau terus-terusan terjebak dalam pemainan gue ini. 

Sejak Lebaran 2015 kemarin, gue uda memutuskan untuk memulai semuanya dari awal, memulai yang baru. Bukan, bukan "permainan" yang baru. Gue uda terlalu capek sama semua permainan itu! Gue memutuskan untuk pensiun, gue keluar, gue berhenti! Sorry gue emosi, gue terlalu bahagia sekaligus sedih.

Lalu, mulai muncullah masalah pertama. Bukan masalah sih, tapi anggap aja kaya gitu. Masih ada orang yang menganggap gue sedang dalam kondisi bermain. Cukup kesal sebenarnya, tapi tak apalah. Mungkin mereka masih berpikir demikian karena gue ga pernah menyatakan bahwa gue telah menyelesaikan hal itu, secara sepihak. 

Dan, masalah kedua mulai terlihat. Saat dimana gue mulai serius untuk mencari partner, bukan lawan, ga banyak dari mereka yang terlihat seperti mau menjadi partner gue. Anggap aja seperti ini, saat lo lagi mau bermain-main, banyak yang menawarkan diri untuk mejadi lawan, tapi saat lo berhenti dari permainan kekanak-kanakan itu dan mau mulai bermain dalam keseriusan, ga ada satupun yang menawarkan diri untuk menyertakan lo dalam tim. Cukup tergambarkan dalam kalimat itu apa yang gue rasain sekarang, saat tulisan ini lagi diketik.

Bersumber dari 2 'masalah' itu, gue semakin membulatkan tekad untuk sepenuhnya menyudahi permainan. NO RULES, NO GAMES, NO MORE. Gue ga akan terbujuk untuk masuk ke dalam permainan lagi. Ga mau lagi merespon para mantan dan calon pemain. Kalaupun ada di antara mereka yang menghubungi gue, sebisa mungkin gue bales seadanya. Gue gamau lagi memicu kebahagiaan yang semu untuk datang lagi. Uda cukup lama gue menikmatinya. Uda cukup sadar juga kalau gue benar-benar butuh kebahagiaan yang sebenarnya. 

Masalah besar muncul saat ini. Yang mana di satu sisi gue memutuskan untuk tidak merespon "mereka", tapi masih tersisa satu orang. Tololnya gue, masih aja gue respon dia sampai saat ini! Entah setan apa yang merasuki gue sampai gue berpikir untuk menerapkan "permainan" itu ke dia. Tapi gue gabisa, karena dia teman gue sendiri. Gue ga sanggup melihat orang terdekat gue, teman gue sendiri, merasa tersakiti dengan permainan gue. Karena sebelumnya pun permainan itu selalu mendapatkan lawan dari luar lingkungan pertemanan gue.

Mungkin dia juga yang menjadi salah satu alasan gue untuk mengakhiri permainan licik itu. Entahlah. Gue cuman merasa bahwa dia datang di waktu yang lumayan hampir tepat. Datang di saat gue mulai muak dengan permainan gue hingga saat ini, saat dimana telah lebih dari 1 bulan gue berhenti dari permainan itu.

Ga terasa, hati ini mulai lebih banyak mengambil alih. Biasanya, otak dan logika gue lebih banyak mengendalikan hati. Mereka memaksa hati untuk ga gampang terbuai dengan kata-kata racun dari para pemain. Mereka memaksa hati untuk menahan rasa jatuh, untuk cinta. Bahkan untuk memunculkan rasa suka pun, mereka menyiksa hati untuk bertahan konsisten pada peraturan licik. Tapi sekarang kebalikannya. Hati ini dengan gagah berdiri dan memberontak. Ia ingin saat ini ia lebih mengontrol diri dan mulai menebarkan bibit-bibit yang memicu dopamine untuk bergabung bersamanya. Hati ingin dopamine untuk lebih aktif bekerja!

Lalu, sang Eros perlahan datang tanpa undangan resmi. Dia datang mengobrak-ngabrik diri gue. Tanpa kontrol. Jadilah, Otak dengan logika di dalamnya bertarung melawan hati beserta dengan dopamine juga dukungan dari eros. Diri gue mulai berkecamuk, ga tahan akan peperangan yang mulai memanas. Saat gue disibukkan dengan mereka, oxytocin, norepinephrine, pheromones, dkk perlahan masuk dalam pertempuran, membantu hati dan sekutu. 

Gue merasa perang ini semakin ga adil, karena hati mendapat dukungan dari sekutu-sekutu barunya. Peperangan berlangsung dengan sangat tidak gentle. Gue mengambil alih peperangan ini. Hati dan logika gue pertemukan, tanpa mengikutsertakan para sekutu mereka. Hanya ada hati dan logika. Hanya mereka berdua. 

Lalu, gue mulai bingung apa yang harus gue lakukan pada mereka. Gue mencoba untuk netral, tidak memihak, tapi gue ga bisa! Dan karena kebimbangan gue ini, berdampak pada mereka, hati dan logika. Gue jadi ga bisa menentukan apa yang harus gue lakukan ke Dia. Gue galau, banget! Banyak hal yang menjadi perdebatan antara hati dan logika. Jadilah, hati dan logika saling bergantian mencomooh dan mencoba untuk saling membuktikan bahwa merekalah yang benar.

Hati berkata, "bertahanlah! Kamu tau dan cukup yakin kalau Dia cukup dan telah berubah. Kamupun mulai jatuh kepada-Nya. Kamu telah memberikan Dia kesempatan, ditambah dengan sedikit dariku yang kamu berikan...."
Logika memotong, "tidak semudah itu! Dia bahkan belum menunjukkan rasa yang lebih dalam. Mungkin saja dia mempermainkanmu! Acuhkan Dia!"

Oke, cukup. Apa yang dibilang oleh hati dan logika ga sepenuhnya salah ataupun benar. Karena mereka juga, buat gue jadi lebih insecure dari biasanya. Mulai deh muncul perasaan takut. Terlalu banyak takutnya, sampai gue ga bisa menjelaskan lebih lanjut dalam tulisan ini. Mau bagaimanapun, gue harus menyatukan mereka, mendamaikan kedua belah pihak. Gue ga bisa membiarkan perang ini berlarut lebih lama.

Akhirnya, gue mengambil sikap. Gue menyebutnya ini sebagai jalan tengah. Karena gue uda cukup banyak bercerita dan bertanya kepada beberapa orang yang gue anggap netral untuk memberikan saran. Seengganya, bisa sedikit meredam pergolakan yang terjadi di dalam diri. Sikap yang gue ambil adalah jangan berpikir lebih jauh dan jangan membiarkan hati lebih banyak memberi lagi. Lalu, gue lebih menyerahkan urusan Dia kepada waktu. Karena mau sebanyak apapun gue berekspektasi dan sekeras apapun usaha yang telah gue lakukan, hanya waktulah yang dapat memberikan jawaban. Cukup klisekah? Memang. Tapi itu cukup adil bagi gue yang seperti ini.

Sampai dimana tulisan ini diketik, telah 2 hari berlalu sejak peperangan antara hati dan logika memuncak. Sebenarnya gue ga mau banyak berharap. Tapi setelah melihat dari banyak hal yang telah terjadi dengan Dia, buat gue menaruh sedikit harapan. Jangan buat gue kembali memainkan bahkan menerapkan permainan lama gue pada-Mu. Cobalah untuk ga membuat gue menyesal dengan melewatkan-Mu. Gue ga akan sanggup untuk lebih memaki diri gue sendiri karena telah melibatkan seorang teman masuk ke dalamnya. Gue ga mau menyakiti teman dan merasa tersakiti oleh teman sendiri. 

Tanpa gue sadari, gue telah memulai permainan yang lebih mengerikan dari yang sebelumnya pernah terjadi. Tidak ada hal yang lebih menantang dibandingkan bertarung melawan diri sendiri. Tidak ada permainan yang lebih mendebarkan dibandingkan harus berhadapan dengan diri sendiri. Dibalik itu semua, tidak ada yang lebih menyenangkan selain dapat memenangkan sebuah pertarungan yang berhadapan dengan diri sendiri. Ya, permainan yang saat ini sedang gue jalani bukan lagi harus berhadapan dengan orang lain, tapi dengan diri sendiri. Melibatkan hati dan logika gue. 

Terlalu dramatis apa yang uda gue buat. Gapapa, kok. Terkadang, mendramatisir sesuatu itu bisa meningkatkan gairah dalam menjalani hidup. Dengan catatan, ga semua hal harus didramatisir sedramatis ini. Tapi gue suka cara menulis gue yang mendramatisir kaya ini. Selayaknya seperti sebuah film, gue mau orang-rang yang membaca tulisan gue dapat merasakan juga apa yang gue tulis di dalamnya. Sehingga buat gue jadi lebih ekspresif dalam pemilihan tiap kata dan cukup terlihat seperti mendramatisir sesuatu.

Apa yang terjadi saat ini, sebenarnya telah melanggar peraturan utama yang gue buat sendiri. 

Rule no. 1: Never ever fall in love or take a serious relationship with your own friend

Nyatanya, apa yang gue lakukan saat ini sama aja dengan gue melanggar peraturan gue sendiri. Shame on me! Well, I don't give a fvck anymore with all those shits. No matter how hard I've been trying, finally I walked pretty consciously into love with unexpected person. 




"Saat hati menyatakan untuk bertahan, dan logika memaksa untuk meninggalkan. Maka pecahlah perang antara kamu dengan dirimu sendiri" - EY

3 comments:

  1. "Saat hati menyatakan untuk bertahan, dan logika memaksa untuk meninggalkan. Maka pecahlah perang antara kamudengan dirimu sendiri "

    Nice quote ca wkwkkw

    ReplyDelete
  2. "Saat hati menyatakan untuk bertahan, dan logika memaksa untuk meninggalkan. Maka pecahlah perang antara kamudengan dirimu sendiri "

    Nice quote ca wkwkkw

    ReplyDelete