Gue hanya ingin mengenang, kok. Karena hari ini tanggal 23 Juni.
23 Juni 2010
Pagi itu, sekitar pukul 7 pagi, gue terbangun dengan perasaan gelisah dan kelabilan yang tiba-tiba muncul begitu saja. Entah kenapa, gue merasa marah tanpa penyebab yang pasti. Yang gue tau saat itu hanyalah gue ingin cepat-cepat mengakhiri hari ini. Tanpa ada rencana ataupun tujuan yang jelas, gue cuma mau hari ini terlewati begitu saja.
Gue bangun dari tempat tidur, ambil handuk, dan langsung menuju kamar mandi. Selama mandi itu, gue berpikir dan mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi pada diri gue. Gue berbicara dalam hati, "kenapa ya? Ada apa? Apa yang akan terjadi?" Gue cuma merasakan perasaan yang gaenak, di dada. Pikiran dan hati gue penuh dengan tanda tanya akan ketidakwajaran yang gue rasakan saat itu.
Sekitar 30 menit gue mandi. Keluar, berpakaian, lalu bercermin. Gue melihat seorang remaja belia yang sedang dalam masa pubertas, berambut sebahu ikal bergelombang, memakai seragam putih-biru dengan dasi yang terikat rapi di dadanya. Gadis itu terlihat cantik, tapi wajah periangnya tertutupi oleh pandangan mata yang kosong. Tangan kanannya bergerak mengarah ke arah pipi kananya, lalu mengusap halus. Setetes air mata tiba-tiba mengaliri wajah polosnya.
Saat tersadar kalau gue uda menangis, gue langsung ambil ponsel. Mencoba menghubungi seseorang, lalu berubah pikiran. Gue urungkan niat gue untuk menelpon dan akhirnya memutuskan untuk mengirimkan sebuah pesan singkat.
'Nanti abis ambil ijasah, aku mau ngomong sama kamu, ya.'
Lalu, ia pun membalas, 'mau ngomong apa? Di sini aja.'
'Nanti aja ya, aku lebih suka ngomong langsung :)'
'Kamu kenapa? Mau minta putus ya?'
Gue memilih untuk ga membalas pesannya dan bersiap berangkat ke sekolah. Sepasang sepatu Converse berwarna hitam berbahan kulit telah disiapkan sebelumnya di dekat pintu. Gue ikatkan talinya, lalu meraih sebuah tas kecil berwarna pink yang didominasi oleh abu-abu. Tak lupa ponsel yang biasa gue gunakan, gue ambil dan gue masukkan ke dalam kantong berlambang OSIS berwarna kuning. Gue buka pintu rumah, lalu menguncinya. Berjalan ke arah dimana para tukang ojek biasa mangkal. Gue angkat tangan kanan gue seraya memanggil, "om ojek dong."
Selama di perjalanan menuju sekolah, gue melihat ada banyak missed call yang masuk. Tapi gue acuhkan. Hanya perlu waktu 15 menit untuk sampai di sekolah. Gue beri selembar uang kertas kepada ojek itu lalu ia pun pergi meninggalkan gue sendiri di depan gerbang. Uda cukup dramatis belum? Hehehe.
Gue menarik nafas panjang lalu melangkah masuk melewati gerbang bertuliskan SMP Negeri 7 Jakarta Sekolah Standar Nasional. Gue menutup muka dengan kedua tangan gue. Lalu topeng itu pun terpasang saat gue melepaskan tangan.
Saat kaki ini melangkah, terdengar seseorang yang memanggil, "Elsa!" Ya, dia Ines, sahabat gue. Tanpa sadar keceriaan gue kembali, menekan kegelisahan yang sejak bangun tidur menghantui perasaan ini. Kami berbincang untuk sesaat, lalu berpisah untuk menuju ke kelas. Kebetulan kami berada di kelas yang sama, kelas 9-7. Di sana terlihat beberapa teman-teman gue yang lain sedang mengantri di depan meja guru untuk pengambilan ijasah. Tiba giliran gue untuk mengambil ijasah. Ijasah telah di tangan, tapi gue masih tetap berada di kelas. Bertanya kepada teman-teman yang lain, apakah ada yang melihat 'dia'. Tidak ada satupun yang melihatnya, mungkin dia belum datang.
Kami ber-6, gue, Ines, Rani, Putri, Eka, dan Ica, yang tergabung dalam Toucied, geng gue semasa SMA, berjanji untuk bertemu di kantin. Gue duduk di meja kantin bertaplakan plastik berwarna merah dengan banyak coretan dan tulisan di atasnya. Itu adalah meja dimana kami selalu makan di kantin. Bisa dibilang bahwa kami cukup eksis di sekolah. Hingga memiliki meja pribadi hanya untuk Toucied. Kami ngobrol, ketawa-ketawa, ah betapa indahnya masa itu. Bisa ga waktu diputar kembali saat masa SMP gue itu?
Keceriaan yang mereka timbulkan benar-benar menghipnotis diri gue. Kegelisahan gue seakan menghilang. Tapi muncul kembali saat seseorang tiba-tiba datang menghampiri gue, "Sa, lo dicariin Reno tuh. Kok mukanya keliatan sedih gitu ya, kaya abis nangis". Ya, 'dia' adalah Reno. Teman-teman gue bertanya, kenapa Reno bisa terlihat seperti habis nangis? Gue gabisa berkelik untuk menjawab pertanyaan mereka. Gue sampaikan kegelisahan yang gue rasakan saat itu. Gue menyampaikan niat gue untuk memutuskan Reno hari itu. Mereka kaget dan bertanya, "KENAPA SA?!" Gue gabisa memberikan alasan yang jelas, yang gue tau adalah gue hanya ingin putus darinya. Cukup aneh kenapa bisa gue tiba-tiba mau putus tanpa alasan yang jelas.
Gue pun mengajak Toucied untuk membantu gue mencari Reno. Gue ga bisa menemukan dia di seantero isi sekolah. Gue cukup capek, lalu duduk di taman sekolah di dekat air mancur. Datanglah Sovy, pacar Putri saat itu. Sovy memberitahu gue sesuatu, "Reno keliatannya nangis deh, Sa. Daritadi sedih mulu pas kumpul sama anak-anak di depan, matanya merah banget. Coba lo liat sendiri, deh". Oke, kali ini gue cukup percaya kalau Reno benar-benar merasa sedih.
Gue pamit ke Toucied dan teman-teman gue yang lain yang ada di dekat gue. Berlari kecil melewati gerbang sekolah. Di sana, semua teman-teman cowo seangkatan gue lagi nongkrong. Gue pun mencari Reno diantara mereka. Bertanya ke teman-teman gue yang sedang berkumpul di sana. Lalu seorang teman mengarahkan jarinya ke suatu arah. Ternyata Reno ada di sana, sendiri, duduk di atas Supranya yang berwarna merah, menghindari teman-temannya yang lain. Teman gue itu pun bertanya, "Reno kenapa sih? Sendiri gitu, matanya juga merah tuh, Sa". "Gatau", cuma itu jawaban yang bisa gue beri.
Ga mau berlama-lama di sana, gue pun langsung menghampiri Reno.
"Kamu kenapa?" tanya gue.
"....."
"Yaampun matanya merah gitu," sambil gue usap mukanya. Reno makin menunduk, sekilas gue melihat ada air mata yang terlinang. "Ayok kita pulang, anterin aku ya".
Reno menyalakan Supranya, gue menangkat rok biru panjang itu untuk mempermudah gue naik ke atasnya. Sesaat sebelum ia menarik gasnya, gue berpamitan ke teman-teman yang ada di sana. Kami melewati jalan yang biasa kami lalui saat Reno mengantar gue pulang. Gue diam, Reno diam. Gue ga bisa membuka mulut gue. Berat banget rasanya. Dada ini pun mulai terasa sakit.
Tunggu dulu! Ada yang aneh! Reno tiba-tiba berbelok ke arah yang salah, ke arah yang tidak seperti biasanya.
"Kok belok kiri sih?! Harusnya kan belok kanan!" Gue marah.
Tapi Reno cuman diam. Gue pun ikut diam. Lalu, tiba-tiba mulut gue terbuka,
"No, kita putus ya". Sekali lagi, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
"No? Reno? Ren.....No......." Gue mencoba menekan ego dan emosi gue untuk ga membuatnya semakin sedih. Untuk meredam emosi gue. Berulang kali gue memanggil namanya, dia tetap tidak menjawab.
"Reno, aku minta putus ya". Mulai terdengar isakan tangis yang keluar dari mulurnya. Gue memeluknya dari belakang. Merasakan kehangatan punggungnya. Gue sandarkan kepala gue di punggungnya. Gue raba dadanya, terasa basah. Lalu gue arahkan tangan gue ke wajahnya. Penuh dengan air mata. Gue coba buat menahan air mata gue. Ga bisa! Ternyata seberat ini! Ternyata ga mudah untuk memutuskan hubungan ini dengan Reno!
Selama di perjalanan, gue terus memeluknya dan menyenderkan kepala gue ke punggungnya. Gue gabisa menahan tangis. Semakin lama, gue mendengar Reno tersedu-sedu. Terdengar teriakan kecil dari mulutnya, tidak terlalu jelas karena tertutup oleh helm yang ia pakai. Gue mengusap dadanya dari belakang, mencoba untuk menenangkan. Tapi tangisannya tidak juga berhenti.
Gue merasa bersalah saat itu. Merasa telah menyakiti orang yang sangat gue sayangi, yang tulus menyayangi gue apa adanya, tanpa keraguan. Kebodohan apa lagi yang gue lakukan saat ini? Pikir gue, dengan gue memutuskan hubungan dengan Reno, gue dapat merasakan kebebasan. Kenyataan, sama sekali engga! Sejak saat itu gue merasakan rasa bersalah yang mendalam. Penyesalan yang muncul makin lama makin terasa setelah beberapa bulan gue memutuskannya. Ditambah dengan pertemuan gue dengan orang-orang baru yang gue rasa tidak lebih baik dari Reno.
Kadang, gue teringat akan indahnya waktu yang pernah gue lalui bersama dengan Reno dulu. Hal itu membuat gue menjadi menyesal, kenapa dulu gue mutusin Reno? Bego banget! Penyesalan selama berbulan-bulan yang terasa membuat gue menjadi semakin bodoh dalam menyikapi cinta yang datang menghampiri. Membuat gue merasa bahwa sampai saat ini belum ada orang yang mampu menyaingi ketulusan dan kasih sayang yang pernah Reno berikan ke gue. Kenapa penyesalan selalu datang belakangan?
Seiring dengan berjalannya waktu, rasa penyesalan yang dulu sering menghampiri membuat gue semakin dapat menerima kenyataan, menerima kebodohan yang pernah gue lakukan. Gue mencoba untuk mulai dari diri sendiri, memaafkan diri beserta dengan segala kebodohan yang gue miliki. Dan akhirnya gue pun menyadari, bahwa gue ga bisa mengulang waktu. Gue hanya bisa mencoba mengingat kembali kenangan yang pernah terjadi. Yang paling gue sesali adalah kenapa hubungan gue dengan Reno setelah putus malah menjadi tidak akur? Itulah hal paling dalam menyakiti diri gue. Gue sadar kalau gue telah menyakiti dia, gue juga tau kalau butuh waktu yang lama sekali untuk dia benar-benar bisa memaafkan gue.
Meskipun begitu, gue tidak akan pernah melupakan betapa baik dan tulusnya kasih sayang yang telah ia berikan ke gue. Betapa jahatnya gue saat itu yang telah menyakiti perasaan dia. Tidak terbesit sedikit pun di benak gue untuk kembali bersama dia. Entah kenapa, gue cuman gamau aja. Dan hari ini, 23 Juni 2015, tepat 5 tahun dari insiden itu. Insiden yang membuat gue cukup menyesal.
Oleh karena itu, gue selalu ingat akan tanggal-tanggal yang cukup penting di dalam hidup gue. Termasuk tanggal dimana gue memutuskan hubungan dengan Reno. Tanggal-tanggal lainnya pun begitu, tanggal yang berhubungan dengan orang lain. Gue mencoba untuk tidak melupakan moment-moment indah maupun buruk yang terjadi dalam hidup gue. Karena tiap moment yang gue lalui, akan menjadi kenangan yang akan selalu gue kenang :)
Gue menarik nafas panjang lalu melangkah masuk melewati gerbang bertuliskan SMP Negeri 7 Jakarta Sekolah Standar Nasional. Gue menutup muka dengan kedua tangan gue. Lalu topeng itu pun terpasang saat gue melepaskan tangan.
Saat kaki ini melangkah, terdengar seseorang yang memanggil, "Elsa!" Ya, dia Ines, sahabat gue. Tanpa sadar keceriaan gue kembali, menekan kegelisahan yang sejak bangun tidur menghantui perasaan ini. Kami berbincang untuk sesaat, lalu berpisah untuk menuju ke kelas. Kebetulan kami berada di kelas yang sama, kelas 9-7. Di sana terlihat beberapa teman-teman gue yang lain sedang mengantri di depan meja guru untuk pengambilan ijasah. Tiba giliran gue untuk mengambil ijasah. Ijasah telah di tangan, tapi gue masih tetap berada di kelas. Bertanya kepada teman-teman yang lain, apakah ada yang melihat 'dia'. Tidak ada satupun yang melihatnya, mungkin dia belum datang.
Kami ber-6, gue, Ines, Rani, Putri, Eka, dan Ica, yang tergabung dalam Toucied, geng gue semasa SMA, berjanji untuk bertemu di kantin. Gue duduk di meja kantin bertaplakan plastik berwarna merah dengan banyak coretan dan tulisan di atasnya. Itu adalah meja dimana kami selalu makan di kantin. Bisa dibilang bahwa kami cukup eksis di sekolah. Hingga memiliki meja pribadi hanya untuk Toucied. Kami ngobrol, ketawa-ketawa, ah betapa indahnya masa itu. Bisa ga waktu diputar kembali saat masa SMP gue itu?
Keceriaan yang mereka timbulkan benar-benar menghipnotis diri gue. Kegelisahan gue seakan menghilang. Tapi muncul kembali saat seseorang tiba-tiba datang menghampiri gue, "Sa, lo dicariin Reno tuh. Kok mukanya keliatan sedih gitu ya, kaya abis nangis". Ya, 'dia' adalah Reno. Teman-teman gue bertanya, kenapa Reno bisa terlihat seperti habis nangis? Gue gabisa berkelik untuk menjawab pertanyaan mereka. Gue sampaikan kegelisahan yang gue rasakan saat itu. Gue menyampaikan niat gue untuk memutuskan Reno hari itu. Mereka kaget dan bertanya, "KENAPA SA?!" Gue gabisa memberikan alasan yang jelas, yang gue tau adalah gue hanya ingin putus darinya. Cukup aneh kenapa bisa gue tiba-tiba mau putus tanpa alasan yang jelas.
Gue pun mengajak Toucied untuk membantu gue mencari Reno. Gue ga bisa menemukan dia di seantero isi sekolah. Gue cukup capek, lalu duduk di taman sekolah di dekat air mancur. Datanglah Sovy, pacar Putri saat itu. Sovy memberitahu gue sesuatu, "Reno keliatannya nangis deh, Sa. Daritadi sedih mulu pas kumpul sama anak-anak di depan, matanya merah banget. Coba lo liat sendiri, deh". Oke, kali ini gue cukup percaya kalau Reno benar-benar merasa sedih.
Gue pamit ke Toucied dan teman-teman gue yang lain yang ada di dekat gue. Berlari kecil melewati gerbang sekolah. Di sana, semua teman-teman cowo seangkatan gue lagi nongkrong. Gue pun mencari Reno diantara mereka. Bertanya ke teman-teman gue yang sedang berkumpul di sana. Lalu seorang teman mengarahkan jarinya ke suatu arah. Ternyata Reno ada di sana, sendiri, duduk di atas Supranya yang berwarna merah, menghindari teman-temannya yang lain. Teman gue itu pun bertanya, "Reno kenapa sih? Sendiri gitu, matanya juga merah tuh, Sa". "Gatau", cuma itu jawaban yang bisa gue beri.
Ga mau berlama-lama di sana, gue pun langsung menghampiri Reno.
"Kamu kenapa?" tanya gue.
"....."
"Yaampun matanya merah gitu," sambil gue usap mukanya. Reno makin menunduk, sekilas gue melihat ada air mata yang terlinang. "Ayok kita pulang, anterin aku ya".
Reno menyalakan Supranya, gue menangkat rok biru panjang itu untuk mempermudah gue naik ke atasnya. Sesaat sebelum ia menarik gasnya, gue berpamitan ke teman-teman yang ada di sana. Kami melewati jalan yang biasa kami lalui saat Reno mengantar gue pulang. Gue diam, Reno diam. Gue ga bisa membuka mulut gue. Berat banget rasanya. Dada ini pun mulai terasa sakit.
Tunggu dulu! Ada yang aneh! Reno tiba-tiba berbelok ke arah yang salah, ke arah yang tidak seperti biasanya.
"Kok belok kiri sih?! Harusnya kan belok kanan!" Gue marah.
Tapi Reno cuman diam. Gue pun ikut diam. Lalu, tiba-tiba mulut gue terbuka,
"No, kita putus ya". Sekali lagi, tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya.
"No? Reno? Ren.....No......." Gue mencoba menekan ego dan emosi gue untuk ga membuatnya semakin sedih. Untuk meredam emosi gue. Berulang kali gue memanggil namanya, dia tetap tidak menjawab.
"Reno, aku minta putus ya". Mulai terdengar isakan tangis yang keluar dari mulurnya. Gue memeluknya dari belakang. Merasakan kehangatan punggungnya. Gue sandarkan kepala gue di punggungnya. Gue raba dadanya, terasa basah. Lalu gue arahkan tangan gue ke wajahnya. Penuh dengan air mata. Gue coba buat menahan air mata gue. Ga bisa! Ternyata seberat ini! Ternyata ga mudah untuk memutuskan hubungan ini dengan Reno!
Selama di perjalanan, gue terus memeluknya dan menyenderkan kepala gue ke punggungnya. Gue gabisa menahan tangis. Semakin lama, gue mendengar Reno tersedu-sedu. Terdengar teriakan kecil dari mulutnya, tidak terlalu jelas karena tertutup oleh helm yang ia pakai. Gue mengusap dadanya dari belakang, mencoba untuk menenangkan. Tapi tangisannya tidak juga berhenti.
Gue merasa bersalah saat itu. Merasa telah menyakiti orang yang sangat gue sayangi, yang tulus menyayangi gue apa adanya, tanpa keraguan. Kebodohan apa lagi yang gue lakukan saat ini? Pikir gue, dengan gue memutuskan hubungan dengan Reno, gue dapat merasakan kebebasan. Kenyataan, sama sekali engga! Sejak saat itu gue merasakan rasa bersalah yang mendalam. Penyesalan yang muncul makin lama makin terasa setelah beberapa bulan gue memutuskannya. Ditambah dengan pertemuan gue dengan orang-orang baru yang gue rasa tidak lebih baik dari Reno.
Kadang, gue teringat akan indahnya waktu yang pernah gue lalui bersama dengan Reno dulu. Hal itu membuat gue menjadi menyesal, kenapa dulu gue mutusin Reno? Bego banget! Penyesalan selama berbulan-bulan yang terasa membuat gue menjadi semakin bodoh dalam menyikapi cinta yang datang menghampiri. Membuat gue merasa bahwa sampai saat ini belum ada orang yang mampu menyaingi ketulusan dan kasih sayang yang pernah Reno berikan ke gue. Kenapa penyesalan selalu datang belakangan?
Seiring dengan berjalannya waktu, rasa penyesalan yang dulu sering menghampiri membuat gue semakin dapat menerima kenyataan, menerima kebodohan yang pernah gue lakukan. Gue mencoba untuk mulai dari diri sendiri, memaafkan diri beserta dengan segala kebodohan yang gue miliki. Dan akhirnya gue pun menyadari, bahwa gue ga bisa mengulang waktu. Gue hanya bisa mencoba mengingat kembali kenangan yang pernah terjadi. Yang paling gue sesali adalah kenapa hubungan gue dengan Reno setelah putus malah menjadi tidak akur? Itulah hal paling dalam menyakiti diri gue. Gue sadar kalau gue telah menyakiti dia, gue juga tau kalau butuh waktu yang lama sekali untuk dia benar-benar bisa memaafkan gue.
Meskipun begitu, gue tidak akan pernah melupakan betapa baik dan tulusnya kasih sayang yang telah ia berikan ke gue. Betapa jahatnya gue saat itu yang telah menyakiti perasaan dia. Tidak terbesit sedikit pun di benak gue untuk kembali bersama dia. Entah kenapa, gue cuman gamau aja. Dan hari ini, 23 Juni 2015, tepat 5 tahun dari insiden itu. Insiden yang membuat gue cukup menyesal.
Oleh karena itu, gue selalu ingat akan tanggal-tanggal yang cukup penting di dalam hidup gue. Termasuk tanggal dimana gue memutuskan hubungan dengan Reno. Tanggal-tanggal lainnya pun begitu, tanggal yang berhubungan dengan orang lain. Gue mencoba untuk tidak melupakan moment-moment indah maupun buruk yang terjadi dalam hidup gue. Karena tiap moment yang gue lalui, akan menjadi kenangan yang akan selalu gue kenang :)
No comments:
Post a Comment